Jurus Merangkul Ala Kyai Mur

1:31:00 PM Gehol Gaul 0 Comments


Melihat masyarakat yang terpecah-belah sekarang ini hanya gara-gara memilih pemimpin, saya teringat tentang kebaikan para ulama di kampung saya. Salah satu yang masih teringat adalah mendiang KH Zainal Mutaqien. 

Kami biasa memanggil Beliau dengan sebutan Kyai Mur. Dialah pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Al-Manar di kampungku. Sekira usia akhir SD dan awal SMP, saya berkesempatan menimba ilmu di sana. Tak lama memang, namun banyak hal yang susah dilupakan baik yang menakutkan maupun menyenangkan.

Menakutkan karena Sang Kyai membawa aliran baru, Muhamadiyah. Sementara sejak berpuluh tahun lamanya, NU sudah lebih dulu mengakar di kampungku. Gesekan tentu saja ada. Namun kerukunan antarpenduduk tetap terjaga. Perbadaan paham tentu saja terkadang membuat penganutnya saling klaim kebenaran. Tapi di kampungku semuanya masih dalam batas kewajaran. Sebab, hampir semua orang yang tinggal di sana memiliki ikatan darah alias bersaudara.

Tidak semua warga kampungku yang memang berstatus sebagai Islam yang taat. Salah satunya tentu saja saya. Bagi banyak kaum santri, anak-anak dan keluarga seperti saya digolongkan sebagai abangan alias Islam KTP. Bahkan konon, saking kurangnya kadar iman orang-orang seperti kami menikah dengan kaum santri hanyalah hayalan. Kami adalah golongan orang-orang yang "jauh dari mesjid".

Untuk bisa menikahi kekasih dari golongan santri, kami harus mengubah kebiasaan buruk kami yang jarang beribadah. Namun tentu saja kebiasaan itu susah diperbaiki. Beruntung, kemudahan datang seiring hadirnya Sang Kyai.

Kedatangan Kyai Mur membawa banyak perubahan. Salah satu yang nyata adalah dirangkulnya kami yang Islam KTP ini untuk berbondong-bondong ke pesantrennya. Pendekatan yang berbeda membuat anak-anak dan orang tua yang tadinya jarang bersentuhan dengan agama menjadi militan. Kadar militansi inilah sebenarnya yang membuat gesekan-gesekan kecil sering terjadi.

Sebagai anak-anak, waktu itu saya tak terlalu memperhatikan kenapa orang-orang yang dahulu dicap "jauh dari masjid" kemudian begitu entengnya bergabung dengan Kyai Mur. Barulah beberapa tahun setelahnya saya mengerti bahwa pendekatan Beliau yang merangkul itulah penyebabnya.

Jika banyak yang lebih suka menjuluki kami sebagai kaum kurang beriman, Beliau justru sebaliknya. Dia dekati orang-orang yang kurang beriman ini tanpa label. Karena tanpa label inilah yang membuat kami kemudian tergerak. 

Pesan yang dibawa sama, kebenaran Illahi. Hanya saja, kemasan kedua kubu dalam mendapatkan simpati kami berbeda. Kyai Mur memilih pendekatan yang "memanusiakan" daripada memberikan label atau cap yang buruk. Beliau mendekati alih-alih menjauhi. Beliau mengajak, bukannya mencela.

Tentu saja para kyai NU juga melakukan hal yang sama. Berdakwah kepada kami agar kembali ke jalan yang benar. Hanya saja, kebaruan yang ditawarkan Kyai Mur mungkin lebih menarik warga. Kebaruan yang dibungkus kemasan menarik itulah kelebihannya.

Jika dibandingkan dengan hari ini, sosok seperti Kyai Mur tentu dirindukan. Orang-orang yang memiliki tutur kata sejuk dan santun mungkin akan meredakan ketegangan yang ada saat ini. Keengganannya memberikan label buruk pada orang yang berbeda atau tidak sejalan adalah salah satu kekuatan atau charisma terbesarnya.

Sayangnya, sebagaimana orang baik pada umumnya, Beliau terlalu cepat dipanggil Tuhan. Kejayaan pesantren saat Kyai Mur memimpin kini kian menurun. Semoga, benih-benih kebaikan yang dibawanya kian berakar dan mekar di kampungku. 

0 comments: